DESA WANUREJO
"DESA WISATA BUDAYA DAN KRIYA"
Asal kata Desa Wanurejo diyakini berasal dari bahasa Sansekerta vanua’desa’ dan reja’makmur’. Kata tersebut disebutkan dalam prasasti Mendut atau Karangtengah (812M). Kata vanuareja juga disebut dalam prasasti Canggal (732M) sebagai desa yang makmur pada masa Mataram Hindu.
"DESA WISATA BUDAYA DAN KRIYA"
Asal kata Desa Wanurejo diyakini berasal dari bahasa Sansekerta vanua’desa’ dan reja’makmur’. Kata tersebut disebutkan dalam prasasti Mendut atau Karangtengah (812M). Kata vanuareja juga disebut dalam prasasti Canggal (732M) sebagai desa yang makmur pada masa Mataram Hindu.
Asal usul Desa Wanurejo juga
diyakini berasal dari leluhurnya yaitu Bendara Pangeran Haryo Tejakusumo,
seorang putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana II dengan garwa ampean Dewi Rantamsari. Beliau bergelar Wanu Tejokusuma
setelah diberi tanah perdikan bernama
Wanarejo oleh Sri Sultan Hamengkubuwana II. Setelah dinobatkan sebagai adipati
beliau menikah dengan Roro Ngatirah, putri dari Pangeran Puger dengan garwa ampean Siti Sundari. Untuk
menghormati Eyang Wanu Tejakusuma nama desa Wanarejo diubah menjadi Wanurejo.
Petilasan dari Eyang Wanu Tejakusuma sampai saat ini masih dapat ditemui dan
dikunjungi di Puralaya Cikalan, Dusun Tingal, Desa Wanurejo. Desa Wanurejo juga
memiliki ikatan historis dengan Pangeran Diponegoro. Saat terjadi perlawanan
Diponegoro tahun 1825 Eyang Wanutejakusuma (Wanurejo) ikut membantu Pangeran
Diponegoro melawan Belanda.
Beberapa nama dusun yang ada di desa
Wanurejo juga dinamai menurut nama-nama leluhur. Dusun Gedongan diambil dari
nama Kyai Zazuli, disebut Mbah Gedong karena beliau merupakan kepala
perpustakaan (orang-orang dulu menyebut suatu bangunan dengan istilah gedong). Dusun Soropadan diambil dari
nama Eyang Sorok (Mahisa Amantu). Eyang Sorok merupakan keturunan
Brawijaya V yang melarikan diri dari Majapahit kemudian diangkat sebagai
panglima perang pada masanya. Nama Dusun Brojonalan tidak terlepas dari nama
putra Pangeran Puger yakni Eyang Brojokumoro dan Brojomusti (Citra Lawung)
keduanya merupakan panglima perang. Dusun Barepan berasal dari nama Ki
Pembarep, seorang lurah tamtama pada
masa itu. Dusun Beji diambil dari nama
Eyang Surokerto (Mbah Beji) sedangkan Ki Suro Wongsoprawiro atau biasa disebut
Mbah Jugil (jugil’mencongkel’) karena
seorang pembobol logistik Belanda untuk pribumi dipercayai sebagai leluhur dari
Dusun Jowahan.
No comments:
Post a Comment